“Kenapa cuman ngeliatin?” perempuan dibalik selimut itu memecah keheningan, namun si lelaki masih terkejut dengan penampakan di hadapannya. Iya, siapa yang tidak akan kebingungan dan terkejut jika seekor kucing di depannya bisa berubah menjadi manusia, dan lebih tepatnya menjadi seorang gadis cantik?
“Eh, sorry, sebentar, gue bawain baju dulu, agak bahaya soalnya” lelaki itu tersadar setelah si wanita menegurnya. Dia beranjak menuju lemari pakaian dan membawa sebuah kaos berwarna putih yang kemungkinan akan sangat besar jika dipakai oleh wanita itu.
Sanji menyimpan kaos yang ia bawa di samping perempuan itu. Dengan berhati-hati agar matanya tidak melihat yang seharusnya tak ia lihat.
“Gue keluar dulu, lu bisa pake dulu bajunya sendiri kan?” Sanji keluar dari kamarnya sebelum perempuan itu menjawab pertanyaan Sanji. Jantungnya berdegup kencang hanya dengan melihat punggung wanita tadi yang tak terbalut apapun.
Sanji mencoba mengatur nafasnya agar kembali normal dan berjalan menuju dapur. Saat ini yang ia butuhkan adalah secangkir kopi.
Pikiran lelaki itu tengah dipenuhi oleh gadis kucing tadi. Sebenarnya dia siapa? Dia itu apa? Kenapa bisa berubah menjadi kucing? Kenapa bisa berubah jadi manusia? Hmm… apa perempuan itu Cat-human? Apakah akan ada bahaya seperti di film-film fiksi? Apakah dia perlu kabur ke hutan dan tinggal di sana? Ah, itu terlalu berlebihan, pikirnya.
Sambil menunggu kopi, Sanji mengeluarkan sebatang rokok dan korek api dari saku celananya, kemudian menyalakan rokoknya. Rokok itu ia hisap, lalu asapnya ia hembuskan, menciptakan lingkaran kecil di udara.
“Kok ninggalin sih?” Suara wanita membuat lamunannya terbuyar dan berhamburan, dengan cepat ia mematikan rokoknya yang masih setengah terbakar dan membuangnya ke tempat sampah.
Pemandangan di sekitarnya seakan mengembalikan Sanji ke keadaan nyata. Ruangan yang sebelumnya terasa tenang dan sunyi kini diisi oleh kehadiran si cat-human yang membuatnya tidak bisa sepenuhnya fokus. Meski ada sedikit gugup, Sanji mencoba menyembunyikan perasaannya di balik senyum dan kata-kata santainya.
“Eh, udah selesai? Kirain masih mau tiduran di kasur, jadi gue ke dapur dulu,” jelas Sanji, berusaha meredakan ketegangan yang muncul. Pergolakan perasaannya sendiri membuatnya berpikir keras tentang situasi ini. Entah kenapa, pikiran buruk Sanji tentang hidup bersama cat-human di tengah hutan seperti menguap begitu saja. Mungkin karena kecantikan yang terpancar dari tubuh cat-human di hadapannya.
“Mau?” Sanji menyodorkan cangkir kopi yang tengah ia pegang kepada perempuan yang ada di depannya, namun ia menggelengkan kepalanya tanda tidak mau. Lagipula, kucing mana yang suka kopi?
“Mau di elus.” Sanji yang tengah meminum kopi panas itu tersedak mendengar ucapan cat-human-nya itu. Namun, ia tidak bisa melakukan apapun karena si perempuan memintanya dengan tatapan yang memelas. Entah karena dia kucing atau tahu apa kelemahan dari Sanji.
Sanji menurutinya, dan memberi elusan yang lembut kepada cat-human berambut jingga yang seperti warna bulu saat ia masih menjadi kucing itu. Dalam beberapa detik, suasana kembali hening. Wajah Sanji mencerminkan rasa keterkejutan dan bingung, namun juga ada kehangatan di matanya saat melihat ekspresi puas dari cat-human yang tengah menikmati elusannya.
“Na… Nama kamu siapa? Eh, punya nama gak?” Tanya Sanji dengan kebingungan dan salah tingkah. Nami melihatnya dengan lembut, dan menjawab, "Nami, nama aku Nami."
“Oh iya, besok-besok jangan kasih aku makanan kucing yang tadi, gak enak,” lanjut Nami dengan ekspresi protes di wajahnya, mengenai makanan yang tadi diberikan Sanji yang tidak sesuai dengan selera manusia.
Walaupun kebingungan, Sanji tetap tersenyum menanggapi cat-human cantik itu dan mengangguk untuk mengiyakan keinginannya. Dia berpikir keras tentang cara menyajikan makanan yang sesuai dengan selera manusia dan tentu saja, Sanji akan memenuhi keinginan itu tanpa harus bertanya lebih banyak.
“Yaudah, nanti sore kita beli apapun yang kamu mau ya? Gimana? Kamu bisa beli baju, makanan, atau apapun yang kamu suka,” tawar Sanji dengan kelembutan di matanya, menyelipkan senyum yang menenangkan. Nami menjawabnya dengan anggukan dan senyum yang bersemangat, mengekspresikan antusiasme atas tawaran itu.
“Oh… berarti aku bisa beli berlian sama emas juga?” Muka Sanji terlihat sangat kebingungan dengan pertanyaan Nami barusan. Untuk apa seekor kucing memerlukan berlian dan emas? Lagipula seekor kucing bisa tau dari mana soal barang-barang seperti itu?
“Buat sekarang, baju dan makanan dulu aja ya? Gimana?” Walaupun ucapan Sanji membuat Nami menghela nafas, namun gadis itu menyetujui apa yang dikatakan Sanji.
Tiba-tiba, Nami berlari menuju ruang TV. Entah apa yang sedang dilakukannya, namun kini gadis itu berubah lagi menjadi seekor kucing, dan baju yang ia kenakan tadi sudah berserakan di lantai karena terlalu besar untuk badan kucingnya.
Kini Nami sedang menjelajahi apartment Sanji, setiap sudut ruangan ia endus dan tak ada satupun barang yang dilewatinya. Sanji, yang kini duduk di sofa, hanya tersenyum melihat kucing berwarna oranye itu tengah menjelajah. Entah apa yang ada di pikiran Nami, namun Sanji yakin bahwa kehadiran gadis kucing itu akan membawa warna baru dalam kehidupannya.
Pandangan Sanji kini berfokus pada sebuah tanda yang terlihat di tangan kiri milik Nami, itu terlihat seperti sebuah tattoo baginya. Semakin banyak pertanyaan yang muncul dalam benak Sanji, tetapi ia sadar bahwa tidak mungkin mengajukan semuanya sekaligus kepada Nami. Mungkin nanti, ia akan menanyakan satu per satu.
“Mau mandi, Nami?” Tanya Sanji dengan ramah, membuat Nami mendekati Sanji. Saat kucing itu berubah kembali menjadi manusia, pemandangan di depan Sanji membuatnya terkejut setengah mati. Lelaki itu segera memalingkan wajahnya agar tidak terlalu lama melihat tubuh gadis itu.
“Mauuuu,” jawab Nami dengan girang, menyambut pertanyaan Sanji tadi.
Sanji buru-buru melangkahkan kakinya menuju kamar, lalu kembali dengan sebuah handuk kering di tangannya. Lelaki itu dengan cepat menutupi tubuh Nami dengan handuk yang baru saja dibawanya.
“Ayo,” ucap Sanji sambil menuntun tangan gadis berambut jingga itu berjalan menuju kamar mandi. Saat memasuki kamar mandi, Sanji melakukan segala upaya untuk menciptakan suasana yang nyaman. Dia membersihkan bathtub dan memastikan air hangat mengalir, lalu menyiapkan sabun serta sampo.
“Kamu bisa mandi sendiri kan?” Tanya Sanji memastikan sambil memberikan senyuman ramah. Meskipun dalam hati, ia menyadari bahwa Nami mungkin tidak terbiasa dengan mandi seperti manusia. Dan benar saja, gadis itu menggelengkan kepalanya, menandakan bahwa ia memang tidak bisa mandi sendiri.
Sanji tersenyum lalu menyuruh Nami masuk ke dalam bathub setelah ia menaruh sabun mandi ke dalam air hangat, sehingga muncul busa-busa akibat sabun yang tadi ia masukkan. Lelaki itu dengan hati-hati membantu Nami memasuki bathub, memastikan bahwa gadis itu merasa nyaman. Air hangat dan busa sabun menciptakan atmosfer yang tenang, dan Sanji membiarkan Nami menikmati momen tersebut dengan penuh kenyamanan.
Sanji dengan sabar membantu Nami untuk mandi, lelaki itu dengan berhati-hati membasahi kepala Nami setelah memberitahu gadis itu apa yang akan dilakukannya. Badan Nami sedikit bergerak dan terlihat sangat senang, tingkah Nami berhasil membuat Sanji tersenyum kecil. Setiap gerakan Sanji dijalankan dengan kelembutan, memberikan perhatian ekstra pada Nami agar merasa nyaman selama proses mandi.
Mereka berdua tenggelam dalam keheningan yang nyaman, hanya diiringi oleh gemericik air dan wangi sabun mandi yang menyebar di kamar mandi. Sanji membiarkan Nami menikmati air hangat dan busa sabun, sementara dirinya berusaha menjaga kehangatan dan kenyamanan dalam proses ini.
Sanji berjalan untuk mengambil handuk yang tergeletak sembarangan saat Nami masuk ke dalam bathub. Dengan cermat, lelaki itu membantu Nami membilas badannya yang masih dipenuhi oleh busa-busa yang ada di dalam bathub. Setelah proses pembilasan selesai, Sanji menghanduki tubuh Nami dengan lembut menggunakan handuk yang ia bawa. Sanji berusaha untuk memalingkan matanya agar ia tidak melihat hal yang tak seharusnya ia lihat.
Sanji kini menuntun Nami kembali ke kamarnya dan menyuruh gadis itu untuk menunggunya sebentar. Sanji teringat saat sedang membantu Nami mandi tadi, jika di apartment nya ada baju milik kakak perempuannya yang tertinggal saat berkunjung, dan ia memutuskan untuk memakaikan baju itu kepada Nami. Setidaknya ada baju yang cantik untuk Nami pakai saat ia membawanya berbelanja nanti.
Setelah Sanji menjelaskan cara untuk memakainya, lelaki itu bergegas untuk keluar dari kamarnya, dan membiarkan gadis itu memakai baju sebelum ia bisa melihatnya lagi bukan dengan bertelanjang seperti sebelumnya. Jujur saja, Sanji meresa sangat kewalahan dengan sosok human-form Nami, karena gadis itu akan bertelanjang dan membuat jantungnya berdetak sangat cepat.
“Sanji,” panggil Nami dari dalam kamarnya. Dengan cepat, lelaki itu membuka pintu kamarnya dan menemukan seorang gadis yang sangat berbeda dari gadis yang baru saja ia bantu mandi. Nami kini terlihat sangat cantik dengan dress biru tanpa lengan. Dress itu terlihat sangat cantik di tubuh ramping Nami.
Sanji terpaku memandangi Nami, dan kini jantungnya berdetak tidak teratur. Mengapa dia merasa seperti ini? Padahal wanita yang ada di depannya adalah kucing. Sepertinya dia benar-benar perlu berkonsultasi dengan seorang psikolog.